ANTROPOLOGI SENI/SOSIOLOGI SENI


ANTROPOLOGI SENI

SENI PATUNG KONTEMPORER KARYA G. SIDHARTA SERTA HUBUNGANNYA DENGAN KULTUR BUDAYA, GERAKAN REVITALISASI SERTA PENGKULTUSAN KULTUR
 


Oleh :

SARIFUDIN, S.Pd




Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas paper Antropologi seni Program studi pendidikan seni rupa. Makalah ini disajikan menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Hal ini dimaksudkan agar mahasiswa atau pembaca dapat membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari..
Penyusun telah berupaya semaksimal mungkin untuk berkarya dengan harapan makalah ini dapat digunakan sebagai pegangan dan referensi dalam proses pembelajarannya, khususnya untuk materi Antropologi seni. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih dan rasa penghargaan yang setinggi-tingginya kepada bapak dosen pembimbing mata kuliah antropologi seni. Kritik dan saran yang membangun akan sangat membantu kami demi kesempurnaan makalah ini
Bab I
PENDAHULUAN
1.           Latar Belakang
Perkembangan seni patung di Indonesia yang tumbuh terutama di Bandung, Yogyakarta, Jakarta dan beberapa kota lainnya, menunjukkan perkembangan yang berbeda dibandingkan dengan pertumbuhan awal ditahun 1950-an. Pertumbuhan awal menunjukkan corak-corak representasional, yang ditandai dengan munculnya kecenderungan patung figuratif seperti patung potret diri atau sosok manusia tertentu yang dipatungkan. Lahirnya gerakan-gerakan seni yang dilakukan para seniman muda tidak saja melabrak kemapanan estetik, akan tetapi juga sikap dematerialisasi (pembebasan material). Seni patung tidak lagi di pahami sebagai seni masif yang menggunakan bahan khusus (kayu, batu, resin, bronze, dan lainnya) yang diletakkan di atas sebuah base, akan tetapi muncul dengan sejumlah kecenderungan estetika yang beraneka ragam.
Tanggal 5 Juni 1973 merupakan hari bersejarah bagi para pematung kontemporer Indonesia, karena pada tanggal tersebut untuk pertamakali diadakan pameran patung modern Indonesia di Taman Ismail Mazuki Jakarta. Hadirnya patung kontemporer sangat mengejutkan publik, dikarenakan kurangnya informasi mereka tentang seni patung modern dunia, khususnya Eropa dan Amerika. Ciri utama dari patung kontemporer ialah bahasa bentuknya tidak lagi bersifat regional, akan tetapi universal. Referensi sosialnya tidak ada sama sekali tetapi hal tersebut sudah didukung oleh falsafah mereka masing-masing yang tidak bisa diterangkan secara obyektif untuk semua orang. Karya-karya yang muncul bergerak kearah abstraksionisme ataupun semi abstrak, deformatif, serta mengekploitir bentuk dan gerak.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian
a. pengertian patung
Patung adalah jenis karya seni dalam wujud tiga dimensi. Dalam era industri dan teknologi yang semakin canggih sekarang ini, karya-karya seni patung hadir dan ikut memberikan interpretasinya atas dampak era tersebut. Para pematung tidak hanya sekedar mengekspresikan manifestasi alam yang indah seperti apa adanya kedalam karya, akan tetapi juga mengekspresikannya dari hasil simplifikasi alam dengan hanya menangkap hakikat dari obyek, sehingga memunculkan karya-karya dalam wujud abstrak, dengan berbagai ‘nilai-nilai’ yang diungkapkan lewat ‘tanda-tanda’ visualnya.
b. pengertian kontemporer
Contemporary : kontemporer; masa kini, sewaktu, sejaman, waktu yang sama dengan pengamat saat ini Art : seni; menurut Soedarso S.P. yaitu karya manusia yang mengkomunikasikan pengalaman batinnya yang disajikan secara indah dan menarik sehinggamerangsang timbulnya pengalaman batin pula pada manusia lain yang menghayatinya. Kelahirannya tidak didorong oleh hasrat memenuhi kebutuh an pokok, melainkan merupakan usaha untuk melengkapi dan menyempurnakan derajat kemanusiaannya memenuhi kebutuhan yang bersifat spiritual.
Menurut Ki Hajar Dewantara P yaitu seni merupakan bagian dari kebudayaan yang timbul dari hidup perasaan manusia yang bersifat indah sehingga dapat menggerakkan jiwa dan perasaan manusia.
Seni itu pada dasarnya kontekstual, sebab seni itu adalah persoalan nilai-nilai, dan nilai-nilai itu selalu berhubungan dengan kenyataan konkrit. Sesuatu yang konkrit berada dalam waktu dan tempat tertentu. Bagaimanapun dan apapun wujudnya, seorang seniman tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai budaya masyarakatnya. Ia bisa tunduk, loyal dan membenarkan nilai-nilai masyarakatnya, bisa pula mencoba memberikan alternatif makna baru terhadap nilai-nilai masyarakat, atau sama sekali menolak nilai-nilai masyarakat dan mengajukan nilai-nilai baru dalam karya nya.
Dalam seni modern, kreatifitas merupakan hal yang sangat penting karena dari kreatifitas berkembanglah sifat-sifat orijinalitas, kepribadian, kesegaran, dan sebagainya. Seorang seniman biasanya merasa sulit untuk melepaskan diri dari ikatan sosial yang ada disekitarnya. Oleh karena itu seorang seniman modern dengan sadar berusaha membebaskan dirinya dari ikatan tersebut, dalam hubungannya dengan tanggapan terhadap obyek Seorang seniman biasanya merasa sulit untuk melepaskan diri dari ikatan sosial yang ada disekitarnya. Oleh karena itu seorang seniman modern dengan sadar berusaha membebaskan dirinya dari ikatan tersebut, dalam hubungannya dengan tanggapan terhadap obyek karyanya. aryanya. Sikap batin yang tidak stereotip, yang selalu ingin akan yang baru dan yang lain dari pada yang lain (sudah ada), merupakan ciri dari seniman modern.
Dalam karya seni rupa modern, jumlah unsur informatif (denotatif) sengaja dikurangi dan dihadirkan unsur-unsur visual yang mewakili nilai-nilai tertentu (konotatif). Unsur-unsur visual yang digunakan (misalnya; warna yang tidak ikonografis, atau garis yang tidak ikonografis) dan cara menyusunnya, mengharapkan keterlibatan pengamat dalam melengkapi ‘pengertian’ terhadap tanda-tanda visual tersebut sesuai dengan ground pribadinya. Dengan kata lain, karya seni modern ‘terbuka’ bagi interpretasi.
Sejumlah seniman kontemporer (dari aliran seperti; Dada, Minimal Art, Op Art, Abstract, Expressionisme) berupaya untuk membuat karya yang tidak diarahkan oleh suatu ide atau maksud apriori. Mereka ingin menyajikan suatu peristiwa visual (untuk dilihat) yang tidak mewakili ‘sesuatu’, tanpa referent. Pengamat dibiarkan bebas dalam interpretasinya. ‘Meaning’ diberikan pada karya oleh pengamat – posteriori, setelah karya selesai. Pengamat mencari-unsur-unsur referensiil dalam memory dan jiwanya. Bila tanda-tanda visual yang dimanfaatkan oleh si seniman adalah quali-sign, daya asosiatif pengamat dapat mengaitkan sifat atau nilai yang dihadirkan oleh tanda-tanda visual yang bersifat Quali-Sign (misalnya; nada warna tertentu, lengkungan garis tertentu) dengan nilai yang pengamat kenal, yang penting baginya berdasarkan luas dan dalamnya ‘ground’. Tentu saja cara menghayati karya seperti ini hanya mungkin dilakukan pada karya-karya abstrak.
2.2. Tinjauan tentang Seni  Kontemporer
a. Karakteristik Seni kontemporer
Sebetulnya apakah itu seni rupa kontemporer? Bagaimana sebenarnya praktek seni rupa kontemporer itu sendiri? Pertanyaan ini kerap dibicarakan sebagai bahan diskusi. Pengertian arti dan prakteknya muncul beragam, barangkali karena memang arti kontemporer itu sendiri yang mempunyai makna yang luas, bukan tidak mungkin, siapa saja mempunyai tafsir yang berbeda tentang pengertian dan bentuk praktek seni rupa kontemporer.
Berikut ini adalah karakteristik dari seni rupa kontemporer, yaitu :
1. Adanya pluralism dalam estetika, dalam prakteknya seniman
mendapatkan kebebasan untuk berorientasi pada masa depan, masa lalu
ataupun sekarang.
2. Berorientasi karya bebas, tidak menghiraukan batasan-batasan kaku seni
rupa yang dianggap baku.
3. penggunaan media atau bahan apapun dalam berkarya seni
4. Berani menyentuh situasi sosial, politik dan ekonomi masyarakat yang
sedang, pernah ataupun mungkin akan terjadi.
Seni patung modern dapat kita lihat pada karya-karya pematung terkenal di dunia, seperti; Auguste Rodin (pelopor seni patung modern), Degas (pematung Impresionisti), Mattise, Picasso, Henry Moore, atau yang berasal dari Indonesia, seperti; Rita Widagdo, G.Sidartha, Arby Samah, Nyoman Nuarta dan banyak lagi pematung modern lainnya. Cara memahami karya-karya mereka tentunya dengan cara penghayatan terhadap tanda-tanda visual yang ada dalam karya dimana tanda yang digunakan mencakup suatu representasi dan interpretasi, suatu denotatum dan suatu interprant.
b.      Semiotika
Kata semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang artinya tanda, jadi semiotika berarti ilmu tanda. Semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi pengguna tanda. Semiotika kini adalah bidang yang luas, dari zoo-semiotika, semiotika para-linguistik, semiotika komunikasi visual, semiotika komunikasi massa, semiotika kode budaya dan banyak lagi lainnya. Charles Sanders Peirce (1839-1914) adalah salah seorang filosof Amerika yang paling orisinal dan multidimensional. Selain filsuf, Pierce adalah seorang ahli logika. Menurut Pierce, tugas seorang ahli logika adalah memahami bagaimana manusia bernalar. Sambil menyusun suatu teori mengenai bernalar, Pierce sampai pada keyakinan bahwa manusia berpikir dalam tanda. Maka demikianlah ia sampai menciptakan ilmu tanda. ‘Semiotika’, baginya, sinonim dengan ‘logika’. Secara harfiah ia mengatakan: ‘kita hanya berfikir dalam tanda’. Disamping itu ia juga melihat tanda sebagai unsur dalam komunikasi. Bagi Pierce fungsi essensial sebuah tanda adalah membuat sesuatu menjadi efisien, baik dalam komunikasi kita dengan orang lain maupun dalam pemikiran dan pemahaman kita tentang dunia.
Karya seni rupa dalam ragam perwujudannya tidak terlepas dari sistem penandaan atau semiotika. Tanda dipakai oleh pengirim (sender) dan diterima oleh penerima (receiver), dan si penerima memerlukan penafsiran terhadap tanda-tanda visual tersebut. Sebuah tanda sebenarnya bukan “barang” atau benda, bukan ‘objek’ dalam pengertian umum, melainkan suatu hubungan atau relasi.
c.       Tanda
Tokoh semiotika Peirce (dalam Aart Van Zoest; 1930) membagi jenis tanda berdasarkan ground nya, yaitu (1) Quali-sign, (2) Sin-sign dan (3) Legi-sign.
Quali-Sign adalah tanda yang berdasarkan sifatnya, referent berdasarkan pengalaman seperti ‘merah’ yang berbeda sifat dengan ‘hijau’.
Sin-sign adalah tanda-tanda yang berdasarkan bentuk (rupa), tidak bisa begitu saja dihubungkan dengan sebuah referent karena sin sign adalah super sign yang unik, inovatif, justru menghadirkan referent baru yang belum diketahui sebelumnya.
Legi-sign adalah tanda berdasarkan peraturan yang berlaku umum, suatu konvensi, atau kode. Suatu peraturan, konvensi, dan kode berlaku umum, terbatas dalam suatu lingkungan tertentu yaitu lingkungan kebudayaan. Referensinya adalah suatu aturan tertentu, seperti repetisi.
Tanda melalui ciri-ciri khasnya mengarahkan interpretasi pada content yang dimaksud. Qualisign Sin sign Legi sign.
Inti pekerjaan sebagai perancang (seniman, disainer, arsitek) yaitu menciptakan tanda-tanda visual, tanda-tanda yang memvisualisasikan ‘sesuatu’ (ada referent = ide, maksud, pesan). Jelas bahwa ide tersebut ada sebelum karya ada/apriori.
§ di seni murni : aneka gagasan, angan-angan, perasaan yang jelas maupun yang tidak jelas, melalui realisasi karya yang diformulasikan sehingga berbobot semantik.
§ di arsitektur : unsur-unsur visual me-signifikasi masing-masing fungsi gedung, bersifat informatif/denotatif, dan mengungkapkan hal-hal yang konotatif yaitu semantik.
§ di desain produk : unsur-unsur visualisme-signifikasi sebuah fungsi, secara informatif/denotatif. Desain hanya dapat dipakai bila tanda-tandanya dapat di dekodifisir, hanya sekali-sekali, bentuk desain mengungkapkan hal yang di luar fungsi, yang bersifat semantik. Tapi khusus desain grafis, tujuan desain adalah semantik, namun jarang berbobot filosofis (contohnya ; kartu perkawinan)
d.      Tanda dalam Karya Seni
Penciptaan karya seni terwujud dari hasil ungkapan bathin penciptanya. Ungkapan bathin ini tidaklah datang begitu saja tanpa proses pengalaman artistik dalam diri si seniman. Untuk mendapatkan pengalaman artistik tersebut dapat dipelajari melalui latihan-latihan kepekaan jiwa dalam menangkap gejala-gejala alam, gejala-gejala yang tumbuh dalam masyarakat lingkungan dan bermacam gejala fisik lainnya.Unsur-unsur pembentuk pengalaman artistik antara lain bersifat estetis tetapi juga non-estetis. Pengalaman artistik merupakan pengalaman yang kompleks dan oleh seniman secara kreatif dapat dirangkum menjadi suatu hal yang berbentuk seni.
Para ahli Semiotik mengatakan bahwa karya seni diciptakan ‘sebagai tanda’, lebih tepatnya, sebagai ‘Super-Sign’, untuk ‘menyebut sesuatu’. Sesuatu itu ada pada generasi seniman dekade-dekade terakhir ini tidak terbatas pada pengalaman pribadi. Upaya utama dalam seni abad ini adalah merujuk pada jenis ‘arti’ dan ‘makna’, yang dapat ditangkap ataupun di rasakan, secara ‘inter-subjektif’, bersifat ‘supra-personal’, justru untuk mengatasi subjektivisme dan psikologisme yang berlebihan. Dengan kata lain, hal-hal yang ingin disebutkan di Seni Rupa, Arsitektur, apa yang mereka tampilkan / visualisasikan adalah ‘nilai-nilai’ yang penting bagi orang banyak, seakan-akan yang dicari adalah jenis ungkapan bagi nilai/arti, makna yang objektif, sesuatu yang dianggap dapat mengikat anggota-anggota dari suatu kolektif/komuniti tertentu. Sejauh mana seorang seniman sanggup memikirkan masalah-masalah zamannya, itulah yang menentukan keberhasilan karyanya sebagai bahan bacaan/’teks’ yang membawa nafas zaman, sehingga dapat dimengerti.
Karya seni termasuk dalam kategori tanda yang sengaja diciptakan sebagai tanda, dalam dua rubrik :
1. untuk merepresentasikan obyek-obyek nyata (seni sebagai ikonografi, yaitu seni naturalistik, realistik).
2. untuk memvisualisir atau menstimulir fungsi-fungsi mental tertentu (seni abstrak). Dalam hal ini ikonositas mempunyai tingkat gradasi yang berbeda pada masing-masing aliran. Sebagai contoh; sebuah lukisan abstrak atau patung abstrak adalah analog terhadap karakteristik acuan yang dapat merupakan obyek nyata, atau ide abstrak, ataupun suasana mental (yang juga nyata).
Seorang seniman diharapkan menciptakan tanda-tanda visual-estetis yang dalam konsepsinya kontemporer, yaitu berkaitan dengan problematik/pandangan yang aktuil di komuniti. Seni mencatat ‘keyakinan’ maupun ‘kegelisahan’ yang dalam hal ini kata interpretasi dan ruang interpretasi menjadi kata kunci.
e.       Seni Patung Modern
Dalam perkembangan seni rupa modern, abstrakisme yang menjadi salah satu alur perkembangannya yang utama, sebenarnya bermula pada patung-patung Pablo Picasso yang mengadaptasi bentuk-bentuk patung primitif Afrika. Seni patung modern menurut Herberd Read diawali oleh Auguste Rodin (1840-1971). Loncatan yang berarti terjadi pada Picasso, terutama pada karya awalnya “Kepala Wanita” yang bercorak kubistis dan juga pada Henry Matisse dengan karya-karyanya yang bercorak arabeska, seperti dalam karya “Madeleine I” (1901). Sifat-sifat karya patung mereka tersebut sudah jauh dari sekedar meniru alam (mimesis). Dalam sejarah seni rupa modern, patung-patung Picasso yang memperlihatkan deformasi sangat jauh ini dicatat mempengaruhi kubisme dalam perkembangan seni lukis yang kemudian disebut-sebut sebagai tonggak penting perkembangan abstrakisme, sedangkan seni patung yang berperan dalam melahirkan abstrakisme ini tidak pernah disebut-sebat sebagai perintis.
Sederet nama pematung modern (berawalnya dari Eropa), adalah Auguste Rodin, Pablo Picasso, Henry Matisse, Paul Gauguin, Constantin Brancusi, Jean Arp, Naum Gabo dan Pevsner, Henry Moore. Selanjutnya oleh tokoh-tokoh Kinetic Sculpture seperti; Len Lye, Lin Emery, Ernest Trova, dan lainnya. Menurut Paul Klee karya-karya mereka bukanlah sekedar perwujudan bentuk meniru alam atau segala fenomena yang kasat mata, melainkan lebih banyak menghasilkan sesuatu dari dalam (dari dunia subyek) menjadi tampak oleh orang lain. Karena yang terungkap adalah dunia subyektif yang sering sukar terkontrol oleh pengalaman orang lain, maka tidaklah mustahil terlalu banyak ‘selubung’ yang menghambat terjadinya komunikasi. Pada gerakan Constructivisme yang dipelopori Naum Gabo dan sejumlah pematung lainnya, terdapat gejala yang mencoba mengeksploitir bentuk dan gerak.
Dasawarsa 1970 merupakan masa ‘pemberontakan’ dan ‘gerakan’ dalam seni rupa modern Indonesia, tak terkecuali didalamnya usaha-usaha untuk mempersoalkan perkembangan seni patung. Para seniman muncul dengan gejala baru dimana seniman memungut benda keseharian dan benda temuan seperti benda-benda mainan, boneka, mobil-mobilan, sendal bekas, kaleng, daun pisang, dan sebagainya, kemudian dimaklumat sebagai ‘benda estetik’ dan sah untuk ditransformasikan sebagai seni.
2.3             Interpretasi Karya Seni Patung kontemporer oleh G sidharta
G.Sidharta adalah pematung modern yang dikenal memberontak pada paham modern dengan mewarnai karya-karya patungnya (yang dianggap tidak setia terhadap watak bahan). Sejumlah karyanya juga mengandung cerita yang dihindari oleh umumnya para seniman modern. Kehadiran ornamen (pola-pola etnik) dan sapuan warna dalam karya patungnya ternyata tidak saja memperkaya perkembangan, tetapi juga melahirkan friksi-friksi tajam dalam wacana seni rupa. Karya-karya Sidharta menyiratkan ‘nafas tradisi’ yang sangat kuat. Perjumpaan Sidharta dengan modernisme – menimba ilmu di ASRI Yogyakarta dan Jan van Eyck Akademie voor Beeldende Kunsten Maastricht, Nederland – tak menepis seni tradisi dalam karyanya.
Sebagian besar karya Sidharta diungkapkan dengan menggunakan sistim penandaan yang bersifat qualisign dan sebagian lagi dengan memanfaatkan sistem penandaan ikonogafi. Dalam karyanya yang berjudul “Tumbuh Lima Duabelas Berkembang” (1986) Sidharta tidak lagi terikat pada media dan rumus-rumus seni yang
195x20x20 cm
kayu berwarna
1971
 
 


konvensional. Ia berusaha mengungkapkan irama dalam ruang dengan gerak tegak secara legisign berbentuk tiang dan mengaitkan diri dengan jalur kehidupan tradisi,
50x60x8 cm
kayu berwarna
1971
 
selain tetap berdiri di alam kehidupan masa kini. Tanda-tanda visual yang hadir dalam karya tersebut bersifat qualisign. Begitu juga pada karya “Lingkaran Pesan dari Timur” cenderung mengolah unsur-unsur desain, konflik dan keselarasan. Karya dengan bahan tembaga

yang berukuran 120 x 120 x 120 cm itu berupa semacam gelang raksasa yang tidak bertemu ujung dan pangkalnya. Pada tubuh gelang menempel empat potongan gelang serupa yang saling silang. Susunan bentuk mengingatkan orang pada paham yin-yang, yang tanda-tandanya muncul pada ujung-ujung potongan gelang tersebut.
Disamping Sidharta memanfaatkan tanda-tanda visual secara qualisign, ia juga banyak menghadirkan sifat ikonografi atau bahkan gabungan dari kedua sifat tersebut dalam karya patungnya. Misalnya patung yang bejudul “Keseimbangan dan Orientasi” (1996) dan “Dewi Kebahagiaan III” (1999). Dalam pengolahan bentuk patung ini bersifat ikonografi, walau tidak lagi hadir dalam wujud realis. Namun dalam memanfaatkan warna tidak lagi ikonografi akan tetapi lebih bersifat qualisign.
2.4. Paradigma Perkembangan Seni patung Kontemporer di Indonesia
Dalam seni rupa Indonesia, istilah kontemporer muncul awal 70-an, ketika G. Sidharta menggunakan istilah kontemporer untuk menamai pameran seni patung pada waktu itu. Suwarno Wisetetromo, seorang pengamat seni rupa, berpendapat bahwa seni rupa kontemporer pada konsep dasar adalah upaya pembebasan dari kontrak-kontrak penilaian yang sudah baku atau mungkin dianggap usang. Pendapat lain dari Yustiono, staf pengajar FSRD ITB, melihat bahwa seni rupa kontemporer di Indonesia tidak lepas dari pecahnya isu postmodernisme (akhir 1993 dan awal 1994), dimana sepanjang tahun 1993 menyulut perdebatan dan perbincangan luas baik di seminar-seminar maupun di media massa pada waktu itu. Sedangkan kaitan seni kontemporer dan (seni) postmodern, menurut pandangan Yasraf Amior Pilliang, pemerhati seni, pengertian seni kontemporer adalah seni yang dibuat masa kini, jadi berkaitan dengan waktu, dengan catatan khusus bahwa seni postmodern adalah seni yang mengumpulkan idiom-idiom baru. Lebih jelasnya dikatakan bahwa tidak semua seni masa kini (kontemporer) itu bisa dikategorikan sebagai seni postmodern, seni postmodern sendiri di satu sisi memberi pengertian, memungut masa lalu tetapi di sisi lain juga melompat kedepan (bersifat futuris). (sumber : www.sujud.tripod.com; A.Sudjud Darnanto Personal Website)
2.5 Seniman G Sudharta, Kurator Dan Hubungannya Dengan Sosial Ekonomi
W.S. Rendra melancarkan kritik pedas waktu itu. G. Sidharta telah mendahului jamannya. Jadi sebenarnya G. Sidharta Soegijo adalah pelopor pembaruan di Jogyakarta. Namun karena keadaan di Jogyakarta itu waktu tidak kondusif maka ia terpaksa harus meninggalkan Jogya, kota asalnya yang telah memberikan bekal yang sangat berarti bagi perjalanannya sebagai seniman.
Ia dapat tawaran dari ITB dan pindahlahlah Sidharta ke Bandung tahun 1965. Bersama But Muchtar dan Rita Widagdo ia mendirikan jurusan patung di ITB. Sampai pensiun G. Sidharta tak diangkat menjadi guru besar padahal beberapa rekan dari generasinya telah menjadi profesor. Mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah karena ia bukan alumni ITB namun alumni ASRI Jogya yang merupakan antagonis ITB pada awal sejarah kedua akademi senirupa tersebut? Kita tahu bahwa di awal berdirinya Akademi Gambar di Bandung dan ASRI Jogya ada ketegangan antara kedua institusi tsb. Mereka saling mengritik. Sebab dipandang dari perjalanan akademisnya, keahliannya, karya-karya seninya, jasanya dalam pendidikan ia pasti memenuhi syarat untuk diangkat menjadi guru besar. Walaupun G. Sidharta sendiri tak pernah mempermasalahkan hal ini.
Waktu Museum H. Widayat ingin menganugerahkan H. Widayat Art Award saya diminta duduk dalam panitya seleksi. G. Sidharta Soegiyo dipilih secara sebagai favorit untuk mendapat anugerah tersebut karena perjalanan kesenimannya, kontribusinya terhadap dunia seni-rupa Indonesia, dedikasinya sebagai pendidik dan keberhasilannya sebagai pemimpin. Ia seniman senior yang dihormati oleh semua kelompok dalam dunia seni-rupa. Ia pendiri ASPI (Asosiasi Pematung Indonesia) dan menjabat sebagai ketuanya sampai achir hayatnya.
Saya beberapa kali duduk bersamanya dalam penjurian lomba patung publik. Yang terachir adalah dalam tim seleksi lomba patung yang diadakan P.T. Djarum untuk memilih lima patung yang akan ditempatkan di lima penjuru kota Kudus untuk merepresentasikan Kudus sebagai kota Kretek. G. Sidharta mengetuai tim. Ada kritik dari seniman-seniman yang tak ikut diundang untuk lomba ini terutama seniman lokal dari Kudus dan sekitarnya. Semua dihadapinya dengan rasional dan dijawab dengan argumen yang jitu. Ia membuktikan diri sebagai pemimpin yang berani bertanggung jawab. Ia berpengalaman dalam membuat patung publik maka tahu betul aspek-aspek yang harus diperhatikan. Ia mengikut sertakan ahli bukan pematung seperti arsitek kota karena untuk patung publik perlu adanya keserasian dengan lingkungan dimana patung tersebut ditempatkan..
Keluarga Gregorius Sidharta adalah keluarga Katolik yang baik, maka bila menyangkut patung-patung yang ada kaitan dengan agama katolik seperti penyaliban Kristus, G. Sidharta tak ada tandingannya. Ia sangat menghayati penyaliban Kristus. Sering Sang Penebus tak dihadirkan secara kasat mata namun spiritNya bisa dirasakan. Maka ia sering diminta membuat patung Salib Kristus untuk gereja-gereja Katolik dan patungnya menarik perhatian karena berbeda dengan patung Salib konvensional yang menghiasi gereja pada umumnya. Patung-patung Salib yang bisa dikoleksi oleh kolektorpun mempunyai karakter yang sama dan kualitas yang seimbang dengan patung Salib gereja.
Ia pernah mengeluh ketika pada suatu waktu melihat karyanya akan dilelang oleh sebuah balai lelang nasional dalam jumlah banyak. Ia mengannggap balai lelang tersebut tidak peduli akan senimannya karena dengan demikian harga bisa jatuh, hal mana sangat merugikan sang seniman. Ia mempunyai wawasan, perhatian dan kepedulian yang sangat luas. Ternyata yang dikuatirkannya kemudian benar terjadi.
G. Sidhartalah yang pertama kali menggunakan kata kontemporer dalam pameran pertama Patung Kontemporer Indonesia di TIM Jakarta tahun 1973. Melihat kembali kiprah G. Sidharta, sebenarnya dialah pelopor pembaruan seni-rupa Indonesia. Suatu ironi bahwa Jogya yang sekarang berada di garda depan pembaruan seni-rupa Indonesia, itu waktu belum bisa menerima Sidharta yang membawa pembaharuan dari Barat, sehingga ia harus hijrah ke Bandung, walaupun achirnya ia pulang kandang setelah pensiun.
2.6 Gerakan Revitalisasi Dan Integrasi Etnosentrisme Oleh G. Sidharta Dalam Menghidupkan Kembali Budaya Asli  melalui seni patung
G. Sidharta tidak berhenti dengan apa yang ia dapat dari Barat, karena ia seorang yang dinamis dan kreatif, tak pernah berhenti mencari hal-hal baru. Ia kemudian jenuh dengan modernisme yang diperoleh dari Barat dan menggali kembali tradasi serta mengadopsinya namun dengan penedekatan dan pengolahan baru. Ia beranggapan bahwa seni rupa modern Indonesia harus menunjukkan ke Indonesiaannya di samping kemodernannya. Karena orang tak pernah bisa mengingkari asal-usulnya. Maka muncullah patung-patungnya dari kayu yang berbalut cat warna-warni yang mengandung elemen tradisi namun modern. Karya grafisnya menunjukkan perubahan yang serupa.
Pada saat ini seniman-seniman muda kita malah banyak yang meniru gaya luar negeri baik Barat maupun Timur terutama Cina dan melupakan tradisinya sendiri. Seniman-seniman kontemporer seperti Heri Dono, Nindityo Adipurnomo, Ivan Sagito, Nasirun, Putu Sutawijaya, Indiguerillas yang masih mempertahankan identitas ke Indonesiaannya tidak banyak. Mayoritas tidak memperlihatkan lagi identitas Indonesia. Dari 15 Oktober 2009 sampai 10 Januari 2010 di Centraal Museum Utrecht, Belanda, berlangsung pameran besar berjudul “Beyond The Dutch”. Pameran ini menggambarkan perjalanan seni-rupa Indonesia sejak Raden Saleh, “Mooi Indie”, Zaman Revolusi, Setelah Kemerdekaan sampai Hari Ini. Pameran tersebut ingin mengatakan bahwa “Indonesia Hari Ini” sudah melampaui Belanda, tidak ada pengaruh Belanda sama sekali. G. Sidharta yang pernah belajar di Belanda tahun 50an sebenarnya sudah “Beyond The Dutch”.
G. Sidharta Soegijo tidak pernah “pensiun”. Setelah pensiun dan kembali ke Jogya ia malah tambah aktif memajukan dunia patung Indonesia. Ia mendirikan Asosiasi Pematung Indonesia (API) dan menjadi ketuanya sampai achir hayatnya. Ia tetap mematung pula dan ketika sudah sakit masih sanggup berpameran tunggal. Saya beruntung diminta G. Sidharta membuka pameran tunggalnya di Hotel Santrian Bali walaupun ia tak dapat hadir karena baru selesai mengalami operasi di Singapura. Ini adalah pameran tunggalnya terachir semasa hidupnya.
2.7 Tradisi dalam pengkaryaan G sidharta dibalik arus Prinsip Universalisme Seni Dan Kecenderungan Modernisme Yang  Sedang Dominan.

G Sidharta memiliki banyak pandangan dan sikap seni yang bisa dinilai ‘orijinal’, dan kontroversial, pada masanya. Salah satunya yang penting ketika ia mengatakan: “Saya ingin mengaitkan kembali dengan jalur kehidupan tradisi, di samping sekaligus tetap berdiri di alam kehidupan masa kini, yang berarti satu keinginan untuk menghilangkan jarak antara kehidupan tradisional dan masa kini.
Dalam hal ini say amemilih cara pendekatan melalui pergaulan yang terus menerus, yang dekat dan akrab, dengan benda-benda, bentuk-bentuk, cerita, jalan pikiran dan segalanya yang merupakan hasil dan pengungkapan cita-cita dari kehidupan dan pergaulan tradisional”(1.
Ketika ia meninggalkan Yogjakarta, awal tahun 1965, persoalan yang ada di benaknya bukan soal tradisi yang ingin dijadikan pokok gagasan bagi karya-karyanya. Saat itu, ia justru tengah jengah dengan lingkungan kerja kreatif di Yogjakarta yang dianggapnya kurang cocok lagi bagi dirinya. Maka ketika ada tawaran untuk membuka dan mengajar di studio patung di Bandung (seni rupa ITB) ia pun menerimanya. Pandangan Sidharta di atas itu justru muncul di akhir tahun 1970’an, di Bandung, di tengah gemuruh prinsip universalisme seni dan kecenderungan Modernisme yang sedang dominan. Bagi kecenderungan Modernisme, sebagaimana juga dibayangkan oleh Marcel Duchamp pada awalnya, tradisi adalah pengertian yang tak lagi aci bagi prinsip kebebasan dan penciptaan seni. Praktek estetika Formalisme sama sekali tak mengizinkan hadirnya segala jenis bentuk di luar bentuk karena analisa formal ―apalagi bentuk yang ditujukan untuk menyatakan semacam cerita tertentu. Tak ada patung yang berwarna-warni dengan berbagai ragam bentuk ornamen (sebagaimana yang dikerjakan Sidharta saat itu), selain sejatinya sebuah karya dengan bentuk yang jelas, terukur, dan analitis. Tradisi, bagi prinsip universalisme seni, dianggap ‘hanya’ bisa menyediakan asumsi-asumsi bagi pokok nilai kebenaran yang bersifat lokal dan sektoral (karena sedemikian banyaknya tradisi budaya yang ada di seluruh dunia). Karenanya tradisi dianggap gagal menyiapkan pokok prinsip yang esensial yang dibayangkan mampu dirangkul seluruh proyek penciptaan seni yang bersifat mendunia
.Kritikus dan sejarawan seni, Sanento Yuliman, yang juga jadi teman diskusi sekaligus lawan berdebat Sidharta di Bandung meninggalkan catatan tentang pendirian Sidharta atas nilai tradisi yang sering salah ditafsirkan banyak orang. Katanya: “ Dharta [begitu, Sanento memanggilnya] termasuk seniman yang mencari pilihan lain di anatara pilihan “keuniversalan” yang dominan itu. Tanpa meninggalkan gelanggang ia salah satu seniman yang masih menyimpan semangat merdeka dan terus berusaha mencari rumusan lain bagi persepsi kebudayaan dan sikapnya dalam berkarya
Saat ini satu dekade sudah kita meninggalkan pengalaman perkembangan seni rupa tahun 1990’an. Tentu kita masih ingat gemuruh arena biennale dan triennale internasional disepanjang dekade 1990’an. Sejak akhir tahun 1980’an, arus utama perkembangan seni rupa dunia [dalam hal ini adalah seni rupa Eropa-Amerika] seolah gemar bertakbir soal pentingnya nilai-nilai ‘perbedaan’ (difference) dan ihwal ‘ekspresi budaya’ (cultural context) dalam proses penciptaan karya seni rupa. Prinsip universalisme seni divonis ‘keliru’ dan kecenderungan Modernisme pun dianggap bangkrut. Tak aneh, ratusan seniman di seluruh penjuru dunia ramai mengamini sikap kembali ke ekspresi budaya dan segala pikiran maupun cerita yang berwatak lokal. Toh kini, kita pun juga tak pantas mengatakan bahwa pihak yang berbeda sikap dan pendirian dengan Sidharta dahulu adalah tak benar, dan ternyata sikap Sidharta lah yang tak salah. Sesungguhnya, ihwal bangkrutnya Modernisme dan bergeloranya segala soal yang disebut ekspresi Post-Modernisme adalah masalah pembacaan mengenai logika perkembangan seni rupa; sedangkan upaya dan pencapaian prestasi seniman seperti Anis Kapoor atau Yoko Ono, misalnya, tetap adalah soal peran para inisiator dan pekerja seni yang gigih bagi perubahan. Jika kita bisa bersikap lebih jernih, maka sesungguhnya tak ada yang lebih ‘benar’ atau lebih ‘salah’ diantara karya-karya yang dikerjakan oleh Henry Moore dan Anis Kapoor, misalnya. Kita tentu tetap bisa melihat dua jenis eskpresi ‘seni’ dari kedua pematung itu, meski memiliki dimensi persoalan yang berbeda.
Bagi saya, ada pokok soal Modernisme yang sering luput diperkarakan para seniman dan pemerhati seni rupa yaitu apa pernah disinggung teoritisi budaya Raymond Williams. Katanya: “Modernism can be clearly identified as a distinctive movement, always more immediately recognized by what they are breaking from than what, in any simple way, they are breaking towards”(3. Sikap ‘anti tradisi’ adalah pandangan yang terlalu menitik-beratkan pada ‘alasan’ (karena tradisi dianggap terlalu memberikan batasan), dibandingkan cara melihat persoalan ‘tujuan’ dari gerakan Modernisme seni. Dalam prinsip Modernisme sebenarnya tak ada yang bisa dipisahkan dari alasan dan tujuan. Sebagian komentator dan teoritisi seni memang mengganggap bahwa alasan dan tujuan Modernisme adalah utopia yang hanya berisi praktek kekuaasaan yang tak berkeadilan dan akhirnya hanya akan menyisakan frustasi dan kemuskilan (nihilisme). Dengan demikian maka gerakan seni Post-Modernisme adalah semacam harapan dan ideologi ‘pembebasan’. Di titik inilah kita temukan nilai penting mengenang sikap dua pesohor seni di atas (Gombrich dan Duchamp), karena dari sikap keduanya itu kita bisa memahami betapa penting dan kritisnya peran inisiatif para seniman. Bagi saya, tanpa ada sikap dan kesungguhan para seniman maka segala soal seni akan ‘melulu’ jadi filasafat dan pemikiran. Bukankah ekspresi seni jadi significant justru karena kita sadar hal itu berbeda dari cara penafsiran a’la filsafat dan pemikiran? Pun kita tak perlu lagi menduga-duga: Apakah ekspresi seni harus mengandung pemikiran atau tidak? Apa yang dipikirkan Duchamp maupun G Sidharta jelas memiliki relevansi dengan nilai ‘ekspresi’ seni yang mereka geluti masing-masing.
Pameran ini menampilkan karya-karya yang dianggap bisa mewakili beberapa tonggak pencapaian artistik G Sidharta, dan tentunya tak semua karya yang pernah dikerjakannya bisa ditampung oleh presentasi pameran kali ini. Pokok penting yang hendak disasar oleh pameran ini adalah juga soal peringatan, ihwal memaknai kenangan kerja keras yang dilakukan seorang seniman. Selebihnya, kita bisa berharap: mudah-mudahan kita juga bisa mengambil pelajaran dan manfaat dari pergulatan kreatif sosok Gregorius Sidharta Soegijo. Karya-karya yang dipamerkan adalah lukisan, patung, grafis, dan beberapa dokumen visual karya-karya publik yang pernah dikerjakan G Sidharta selama ia bekerja di Bandung, Yogjakarta, Jakarta maupun di luar negeri. Kawan-kawan seniman di Asosiasi Pematung Indonesia bahkan berinisiatif lebih jauh lagi dengan mengumpulkan dan menata barang-barang serta dokumen pribadi (milik keluarga G Sidharta) untuk ditunjukkan kepada publik seni rupa secara luas. Judul pameran: “Homage: G Sidharta Soegijo” jelas adalah ungkapan rasa hormat dan penghargaan dari para seniman yang pernah menjadi sahabat, kawan, ‘lawan’ diskusi, atau murid G Sidharta, dan tentunya sama sekali tidak bermaksud untuk mengkultuskan atau mengagungkan ihwal sosoknya.
Saya pikir, G Sidharta tentu akan merasa bangga jika sikap kepeloporan dan kerja kerasnya bisa jadi contoh bagi generasi seniman setelahnya. Lebih penting lagi, generasi seniman setelahnya juga bisa menafsirkan secara positif apa yang telah dikerjakannya. Di tahun 1970’an, di Bandung, ketika terjadi ‘wacana perselisihan pendapat’ (discourse of discord) soal ‘patung berwarna’ yang dikerjakan G Sidharta, masing-masing pihak yang pro dan kontra saling menyatakan argumennya dengan sengit. Tak ada satu orang pun yang merasa sakit hati, setelah itu. Kini momen ‘discorse of discord’ semacam itu jadi kenangan manis dan berharga. G Sidharta tentu bukannya tak bisa atau tak paham soal mengerjakan karya patung yang formalistik (pada pameran inipun kita masih bisa menyaksikan contohnya), tapi ia hendak bergerak terus dan menghidupkan, apa ditandai Sanento Yuliman sebagai, ‘semangat merdeka dan terus berusaha mencari rumusan lain bagi persepsi kebudayaan dan sikapnya dalam berkarya’. Tentu era ‘ketegangan kreatif’ yang dialami oleh G Sidharta berbeda pada gejala dan prakteknya saat ini. Namun, tidakkah semangat yang dicontohkannya adalah tauladan yang baik bagi para seniman masa kini? di era ketegangan paradigma pasar seni yang bisa menghidupkan sekaligus juga menjadikan lelah daya kreatif seorang seniman?
Jika soal teladan semangat telah dipancangkan, bagi kita pun ‘diwariskan’ jejak-jejak pergulatan gagasan dan kreativitas G Sidharta dalam berbagai manifestasi karya. Pada konteks persoalan ini, pandangan Roland Barthes soal ‘kematian sang seniman’ bisa kita pahami secara produktif dan positif. Karya-karya G Sidharta tentunya telah menyiapkan kita kemungkinan untuk berdialog dan menyatakan pandangan [yang bisa terpisah dari intensi G Sidharta yang mengerjakannya]. Bagi kepentingan semacam ini pula dibutuhkan kemauan dan ‘keberanian’ kita untuk membayangkan-kembali dan menafsirkan secara produktif makna-makna di balik karya. Lewat lorong penafsiran semacam ini, baik secara literal [dalam bentuk pensikapan pendapat] maupun visual [dalam tanggapan bentuk penciptaan karya], dimensi semangat dan kerja G Sidharta itu akan tiba pada lapangan makna-maknanya yang terus meluas.
Akhirnya, ekspresi seni memang kadang hadir bagai kabut misteri, yang seakan menunggu untuk disiangi. Saya hendak menutup tulisan ini dengan ungkapan Mary Anne Staniszewski, seorang peneliti seni yang rajin menarik kaitan seni dengan nilai budaya. “’Kebenaran’ yang paling kuat dan jelas dalam berbagai kebudayaan”, ungkapnya, “sering adalah segala sesuatu yang tak terkatakan dan tak dikenal secara langsung. Di era modern, hal ini adalah kasus [pemahaman kita] tentang seni. Dengan melihat [karya-karya] seni, kita dapat mulai memahami bagaimana tiap-tiap cara representasi kita [mengenai berbagai hal] membutuhkan makna dan kekuatan”(4. Maka dinamika ekspresi karya-karya G Sidharta, sekali lagi, mengajarkan pada kita ihwal kekuatan dan keteguhan sikap menjadi seorang seniman yang sejatinya [turut] menentukan perubahan.
2.8 Seni Patung  Kontemporer Dan Masyarakat Urban Serta Pengkultusan Kultur
Seni rupa kontemporer melalui jaringan kebudayaan dan ekonomi global menyebar ke seluruh dunia. Dibantu oleh kemudahan akses dan penyebaran informasi melalui teknologi informasi mutakhir, paradigma seni rupa kontemporer menjadi kesadaran yang melingkupi seniman di segala penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Seni rupa kontemporer Indonesia menjadi bagian dari global art-world. Belakangan, cukup banyak seniman kontemporer Indonesia yang diundang pameran di galeri-geleri komersial di luar negeri. Cukup mudah menjumpai seniman Indonesia hilir mudik di  art fair Internasional. Demikian pula para kolektor selalu meng-update wawasan seninya dengan hadir di pameran-pameran dan art fair yang penting. Tentu saja hal ini memberikan pengaruh besar dalam membentuk wajah seni rupa kontemporer Indonesia.
Patung kontemporer Indonesia tak lepas dari pengaruh patung kontemporer global. Sebagai mana telah diutarakan bahwa pengertian patung dalam seni rupa kontemporer hampir tanpa batas. Batasan patung yang inklusif  menjadi pilihan yang masuk akal, sebab batasan yang sifatnya eksklusif dan otoritatif tentu tak sesuai dengan semangat seni rupa kontemporer yang plural dan “apapun boleh”. Mengacu pada teks klasik Kantian-Hegelian, Heinrich Wolfflin, sejarawan seni asal Swiss, sudah sejak akhir abad sembilan-belas menyebutkan adanya dua “root of style” yaitu,
These are the visual or internal root, which is the link with previous art, and the social or external root, which is the link with the contemporaneous surrounding culture.[xi]
Dalam seni rupa kontemporer tampaknya akar yang lebih dominan adalah social atau external root. Hal itu dijelaskan oleh Thomas McEvilley dalam bukunya Sculpture in the Age of Doubt,
“The many avenues shunned by Modernist art history as growing from the nonvisual external root are now being explored in art history text and classrooms. These include the classic social triad (race, class, and gender); political contents encompassing repressed ideological subtext; difference in general, especially ethnic differences and community identities; the mystery of representation and it secret agenda; and so on. Thus the age of doubt has opened itself precisely to those experiences the previous age of certainty had condemned and avoided.”[xii]
Namun demikian, pengaruh dari akar visual pun agaknya memainkan peranan penting dalam seni rupa kontemporer. Aspek visual dalam kebudayaan kontemporer sangat dominan. Dunia kita adalah dunia yang dibentuk oleh citraan. Sehari-hari kita diserbu oleh beragam citraan, seperti media massa, dunia hiburan, iklan, televisi, barang cetakan, komoditas produk. Hal ini tentu saja mempengaruhi pola pikir dan persepsi visual masyarakat masa kini. Populernya istilah dan kajian visual culture menunjukkan hal itu. Walaupun visual culture lebih merujuk pada kenyataan dua dimensi, namun hal itu juga tidak lepas dari realita tiga dimensi. Rangkaian citraan iklan di ruang urban membentuk persepsi kita mengenai karakter ruang urban. Demikian pula, aneka produk industri dan iklan-iklan tiga dimensi juga menjadi kenyataan visual yang menyerbu keseharian kita. Di sisi lain, jika citraan dua dimensi memang bisa dibilang dominan, bisa jadi kejemuan terhadap dominasinya memicu transformasi/transmutasi citraan dua dimensi menjadi tiga dimensi. Setidaknya hal itu tampak dalam seni rupa kontemporer, banyak karya patung yang merupakan transmutasi dari citraan atau karya dua dimensi.
Pada kenyataannya, baik akar visual maupun akar sosial menjadi dasar penting bagi perkembangan patung kontemporer Indonesia. Bahkan dalam beberapa hal, kedua akar tersebut merupakan pengaruh yang telah menyatu. Misalnya, pada saat warisan kebudayaan material (material culture) tradisional menjadi sumber atau perkara yang dipersoalkan oleh seniman kontemporer Indonesia. Budaya material tradisional menawarkan sekaligus keduanya: aspek visual maupun aspek sosial. Demikian pula dengan tema kebudayaan popular yang digandrungi oleh seniman kontemporer, sekaligus menyediakan kedua perkara tersebut: visual dan sosial.  Dalam konteks seni rupa kontemporer, sepertinya istilah “sumber” lebih tepat daripada istilah “akar”,  sebab yang menjadi bahan bakar penciptaan para seniman kontemporer adalah segala sumber visual maupun (persoalan) sosial.
Setelah “pokok persoalan” dan “genre visual” didapat, maka yang selanjutnya dibutuhkan oleh seniman untuk menghasilkan karya patung adalah menetapkan  “presentasi” dan materialnya. Kemungkinan presentasi dalam seni patung bisa cukup luas: monolit atau instalasi; dalam atau luar ruangan; menggunakan base, atau tidak,  atau digantung; di tengah ruang atau menempel di dinding, interaktif atau tidak; ukuran, dan seterusnya. Demikian pula pilihan material hampir tak ada batasnya. Setiap material yang ada dalam kebudayaan manusia mungkin untuk dijadikan material patung kontemporer. Tentu saja kemungkinan pokok persoalan, presentasi dan pilihan material juga bergantung pada trend. Setidaknya situasi tersebut tersebut bisa kita runut melalui perkembangan patung kontemporer Indonesia sejak tahun 90-an.
Tema sosial-politik merupakan subject matter penting dalam seni rupa kontemporer Indonesia tahun 90-an, pada saat seniman-seniman Indonesia mulai terlibat dalam gelaran seni rupa Internasional. Karya-karya instalasi merupakan tampilan yang lebih menonjol dibandingkan lukisan. Hal itu bisa kita lihat misalnya pada Bienal Jakarta IX, yaitu bienal yang juga diramaikan dengan polemik seni posmodern. Demikian pula pada pameran  “tradition and tension” di New York tahun 1996 yang menampilkan seni rupa kontemporer dari lima negara Asia. Hal yang sama tampak pada pameran “Awas :Recent art from Indonesia”. Konten sosial-politik menjadi tema yang sesuai bagi seni rupa kontemporer. Hal itu menjadi identitas (lokal) seni rupa kontemporer Indonesia. Sementara instalasi banyak dipilih karena memang sedang trend dan merupakan alternatif kritikal bagi seni lukis “dekoratif” yang ketika itu sedang booming.
Pada paruh pertama dekade awal abad dua puluh satu, seni lukis kembali dominan. Hal ini tak lepas dari pengaruh tumbuhnya pasar seni rupa kontemporer Indonesia sebagai bagian dari pasar seni rupa regional dan global. Bermunculannya galeri komersial baru. Rumah lelang Internasional mulai melirik seniman-seniman kontemporer Indonesia. Dipicu oleh permintaan yang tinggi terhadap karya-karya lukis old master—yang suplainya sangat terbatas—seni  lukis kontemporer Indonesia tumbuh pesat. Beragam tema dengan nyaman diterapkan pada permukaan kanvas. Booming seni lukis semakin menyuburkan “produksi” seni lukis. Belakangan mulai muncul  “kejenuhan” pada lukisan. Baik pasar maupun seniman sadar akan hal itu. Salah satu upaya mensikapi situasi tersebut adalah  dengan men-diversivikasi “produk” artistik. Muncul fenomena menarik, para pelukis mulai menghasilkan karya-karya patung dalam berbagai kemungkinan. Tentu saja hal ini juga dipicu oleh para seniman yang sukses di pasar yang sejak awal karirnya merupakan seniman hybrid, menghasilkan baik karya dua dimensi maupun tiga dimensi.
Semakin cairnya identitas kesenimanan dan batasan seni patung, menjadi semacam pembenaran bagi para pelukis untuk menghasilkan karya patung. Hal itu sedikit banyak juga dipengaruhi oleh semakin cairnya batasan seni—dalam seni rupa kontemporer. Pengaruh pop art, yaitu bocornya cita rasa seni populer pada seni tinggi, atau tumpang tindih antara pelaku seni popular dengan seni tinggi, seperti low-brow, mendorong dihasilkannya beragam karya-karya patung yang jauh dari frame seni patung modern. Karya-karya tokoh komik, mainan atau produk branded muncul sebagai karya seni—kerap disebut commodity sculpture—dan  meramaikan seni patung kontemporer Indonesia.
Berbeda dengan seni lukis yang sangat dibatasi oleh bidang kanvas, maka seni patung meyediakan alternatif yang sangat luas. Kemungkinan seni patung tidak didefinisikan oleh pengertian patung, namun oleh kemungkinannya dalam kebudayaan masa kini, sebagaimana dikatakan Krauss,
“For, within the situation of postmodernism, practice is not defined in relation to a given medium—sculpture—but rather in relation to the logical operation on a set of cultural terms, for which any medium—photography, books, lines on walls, mirrors, or sculpture itself—might be used.”
Logika yang bisa kita tarik dari pernyataan Krauss adalah bahwa bukan penetapan karya sebagai karya patung (kontemporer) yang menjadikannya istimewa, namun relasinya dengan persoalan “kondisi” kultural. Dalam konteks masa kini, kondisi kultural bisa diartikan segala persoalan dalam kebudayaan global. Karena itu bisa dikatakan segala ideologi kesenian bisa diterapkan melalui seni patung kontemporer.
Para pelukis yang menghasilkan karya patung kebanyakan menerapkan tema dan gaya lukisannya pada karya patungnya. Itu sebabnya, bisa dikatakan terjadi transmutasi dari karya dua dimensi menjadi karya tiga dimensi. Saya menyebut karya-karya tersebut sebagai karya patung tanpa “beban”. Hal ini memunculkan “anggapan” bahwa mudah saja menghasilkan karya patung, khususnya bagi para pelukis, cukup “men-tigadimensi-kan” object atau subject matter dalam karya lukisnya. Bagi para seniman tersebut tidak ada aspek “esensial” atau “konsep dasar” seni patung. Hal ini tentu berbeda dengan keyakinan para pematung “akademik”, yaitu para pematung lulusan pendidikan seni patung.
Pada akhirnya, perkara tema dan medium adalah perkara pilihan. Karena itu, seniman-seniman keramik dan serat, contohnya di Barat—karena  konstruk sejarah (dikotomi art and craft)—dianggap   sebagai bukan bagian dari seni tinggi, di Indonesia dengan mudah menjadi bagian seni patung. Dalam seni rupa modern dan kontemporer Indonesia seniman keramik tak mendapatkan stigma sebagai craft-artist sebagaimana dalam medan seni rupa Barat. Karena itu para seniman keramik, serat, kayu, logam dan perhiasan yaitu para seniman yang dalam ruang lingkup pendidikan tinggi seni rupa diletakkan dalam program studi kriya (craft), juga merupakan seniman-seniman yang memperkaya wajah patung kontemporer melalui karya-karya non-fungsionalnya. Karya-karya mereka kerap dikategorikan sebagai karya “objek”, karena memiliki trayek perkembangan di luar seni patung modern.
Wacana seni patung tak bisa dilepaskan dari perkara ruang (space) dan material. Karena itu eksistensi seni patung kerap direndengkan dengan bangunan, dan tentunya keberadaan arsitek. Sudah cukup lama di Barat, para arsitek dan karyanya menjadi bagian wacana seni patung modern dan kontemporer. Belakangan ini, para arsitek dan desainer kerap diundang untuk memperkaya wajah patung kontemporer di Indonesia. Nama-nama seperti Budi Pradono, Leonard Theosubrata mulai akrab dengan dunia seni rupa. Demikian pula para desainer, baik dari dunia fashion dan iklan saat ini kerap terlibat dalam pameran seni rupa kontemporer. Khususnya dalam patung kontemporer keterlibatan para desainer produk atau interior merupakan kemungkinan yang menantang. Setidaknya istilah furniture-sculpture—yang sudah lama beredar dalam wacana patung kontemporer Barat—menunjukkan  kemungkinan tersebut.
          DALAM gerak hidup dan kehidupan, terdapat peristiwa-peristiwa.Peristiwa demi peristiwa mengisi waktu dan ruang selaksa abadi. Tiga peristiwa  terpenting yang selalu dialami (diarasakan, dipikirkan) oleh manusia, adalah peristiwa budaya, peristiwa alam dan peristiwa ke-Tuhanan. Ketiganya, dalam proses dialogisnya kemudian melahirkan kultur yang kultus atau kultus yang dikulturkan dari waktu ke waktu pula.
 Kultur, kulturisasi, inkulturasi, enkulturiasi, akulturasi merupakan proses jejak kebudayaan manusia.Dinamika kebudayaan telah dan akan melahirkan jejaring dan jaringan yang berbentuk tatanan-tatanan sesuai dengan tuntutan zaman. Proses berkebudayaan dapat dengan berbagai bentuk, misalnya bentuk kultur ekstentif dan kultur jaringan biosif. Kultur ekstensif berwujud strategi pemeliharaan, pembudidayaan, misalnya kultur  pembudidayaan dengan intensitas rendah, seperti yang dilakukan komunitas kolektif manusia di kalangan bawah, petani, buruh dan sebagainya. Sedangkan pada kultur jaringan biosif, proses kebudayaan direkayasa untuk mempercepat pertumbuhan jaringan lewat media tumbuh yang diatur sedemikian rupa sesuai dengan kondisi masyarakat manusia kolektif tersebut.
Perlu diketahui dalam proses kebudayaan tersebut baik yang ekstensif dan biosif menimbulkan pola kultus (pengkultusan) kepada seseorang, yang dianggap memiliki keluhuran, ia bisa berupa para cerdik cendikia, ulama, pastur, ilmuwan, teknokrat, seniman, raja, presiden. Kultus yang memang memiliki arti pemujaan, pendewaan terkadang dilakukan dengan sembrono dan berlebihan. Robertson mengatakan, bahwa kultus adalah terminologi yang mengklaim kepada seseorang yang dianggap paling benar, terbenar. Yinger mengatakan, bahwa kultus adalah gerakan new religion pada kelompok tertentu yang bersifat doktriner, dan terkadang menyimpang atau menyempal dari religi besar tertentu pula. Pada intinya, munculnya kultusisasi pada diri seseorang, karena adanya anggapan bahwa seseorang tersebut memiliki tingkat spiritual revolusioner.
Pada masyarakat yang majemuk, baik yang ortodoks dan protestan, yang modern maupun yang kolot, yang kampungan maupun yang metropolitan, yang mukmin maupun yang kafir, yang konvensional dan kontemporer dipastikan muncul adanya kulturisasi kultus atau pengkultusan yang dikulturisasikan.
Dalam peristiwa budaya misalnya, munculnya kulturisasi kultus disebabkan oleh adanya kekhawatiran pada sebagian besar manusia perihal akan masa lalu dan masa depannya, ketakutan akan hidup dan matinya, atau jatuh bangkit bangunnya. Secara umum manusia memang makhluk unik yang dilematis, satu sisi diciptakan menjadi pemberani, sisi yang lain memiliki ketakutan, kepengecutan dan kepengkhianatan. Dilema dua muka atau dua sifat inilah, hidup manusia serba tergesa-gesa, sekaligus ragu-ragu untuk mencapai puncak tangga tertentu, misalnya. Dan puncak tangga itu adalah kesuksesan hidup material jasmanial dan spiritual rohanial. Manusia dengan akal dan nafsunya, terkadang memuji peristiwa budaya ciptaannya dan juga terkadang memaki peristiwa yang dialaminya. Dalam menghadapi peristiwa- peristiwa utamanya budaya, manusia ada yang melakoninya penuh dengan ketelatenan dan kejelian. Tetapi juga sering dilaluinya penuh dengan intrik-intrik yang berlawanan dengan akal sehat, keduanya akan mempengaruhi proses pelakonan-pelakonan atas peristiwa budaya mulai dari masa kecilnya sampai masa tuanya. Peristiwa budaya tumbuh bersama pola pikir  dan pola dzikr ( per-ingatan ) seseorang. Dan seseorang tersebut kemudian diklaim memiliki sesuatu yang dianggap mulia tadi. Dari sini, muncul proses peristiwa budaya kala kultur kultus. Pengkultusan yang disertai pengkulturan dapat terjadi pada ranah peristiwa kebudayaan dan cabang-cabang cakupan dan kajiannya, misalnya pada cabang cakupan dan kajian ekonomi, agama, bahasa, politik, adat istiadat, mata pencaharian, teknologi, seni dan ilmu pengetahuan ( pinjam urutan versi Koentjaraningrat)
Coba simak peristiwa budaya yang diciptakan manusia yang mengandung kulturisasi kultus tersebut, misalnya ketika  manusia “terperangkap atau  sedang tertarik” pada peristiwa budaya politik, maka dari waktu kewaktu, yang digagas hanyalah persoalan politik belaka dengan segala plus minusnya.Dibenak manusia hanya ada satu yang dianggap terpenting pada saat itu, yakni persoalan politik. Politik akhirnya menjadi kultus, dipuja dan didewakan. Dari sikap dan sifat “pengelebihan” pada peristiwa budaya ciptaan manusia, selanjutnya terjadi korelasi dan relasi konsep atau kata kalimat yang dimainkan, dengan terasa “mengasyikkan sekaligus membingungkan”, misalnya permainan kata seni politik, politik seni, kesenian politik, politisasi kesenian, kesenian yang dipolitisir, seni berbau politik yang menimbulkan permainan kata yang berlebihan yang berbau kultusiasi konsep dan kata yang dilontarkan seseorang yang ahli politik, misalnya. Belum lagi misalnya permainan kata yang melahirkan sikap cultism, seperti agama politik, politik ekonomi, bahasa politik, ilmu politik, sosial politik dan sebagainya. Keterperangkapan dan ketertarikan pada permainan korelasi dan relasi atas konsep kata tersebut, kemudia lahirlah ribuan pemikir politik yang “bermain” menggila dan dicatat oleh sejarah yang cenderung menciptakan kekulturan yang mengkultus, sebutlah misalnya, mulai dari pemikir politik yang eksentrik Socrates, Plato, Aristoteles, Epicurus, Zeno, Cicero, Seneca, Plotinus, Agustinus, Salisbury,Ibnu Sina, Ibnu,Khaldun, Prapanca, Machiavelli, Jean Bodin,Spinoza,Montesque, Rousseau, Immanuel Kant,David Hume,De Bonald, Hegel,Joan Stuart Mill, Nietzsche, Lenin, Hitler, Mussolini, Salazar, Gandhi, Mao Tse Tong sampai Sukarno. Orang-orang ini ( yang dikemudian hari dikultuskan ) mengabdikan sepanjang hidupnya untuk mendalami dengan tujuan mempengaruhi manusia lainnya melalui peristiwa politik.

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
1. Patung adalah jenis karya seni dalam wujud tiga dimensi. Dalam era industri dan teknologi yang semakin canggih sekarang ini, karya-karya seni patung hadir dan ikut memberikan interpretasinya atas dampak era tersebut. kontemporer; masa kini, sewaktu, sejaman, waktu yang sama dengan pengamat saat ini
2. Berikut ini adalah karakteristik dari seni rupa kontemporer, yaitu :
a. Adanya pluralism dalam estetika, dalam prakteknya seniman
mendapatkan kebebasan untuk berorientasi pada masa depan, masa lalu
ataupun sekarang.
b. Berorientasi karya bebas, tidak menghiraukan batasan-batasan kaku seni
rupa yang dianggap baku.
c. penggunaan media atau bahan apapun dalam berkarya seni
d. Berani menyentuh situasi sosial, politik dan ekonomi masyarakat yang
sedang, pernah ataupun mungkin akan terjadi
3. G Sidharta memiliki banyak pandangan dan sikap seni yang bisa dinilai ‘orijinal’, dan kontroversial, pada masanya. Salah satunya yang penting ketika ia mengatakan: “Saya ingin mengaitkan kembali dengan jalur kehidupan tradisi, di samping sekaligus tetap berdiri di alam kehidupan masa kini, yang berarti satu keinginan untuk menghilangkan jarak antara kehidupan tradisional dan masa kini
Akhirnya, ekspresi seni memang kadang hadir bagai kabut misteri, yang seakan menunggu untuk disiangi. Saya hendak menutup tulisan ini dengan ungkapan Mary Anne Staniszewski, seorang peneliti seni yang rajin menarik kaitan seni dengan nilai budaya. “’Kebenaran’ yang paling kuat dan jelas dalam berbagai kebudayaan”, ungkapnya, “sering adalah segala sesuatu yang tak terkatakan dan tak dikenal secara langsung. Di era modern, hal ini adalah kasus [pemahaman kita] tentang seni. Dengan melihat [karya-karya] seni, kita dapat mulai memahami bagaimana tiap-tiap cara representasi kita [mengenai berbagai hal] membutuhkan makna dan kekuatan”(4. Maka dinamika ekspresi karya-karya G Sidharta, sekali lagi, mengajarkan pada kita ihwal kekuatan dan keteguhan sikap menjadi seorang seniman yang sejatinya [turut] menentukan perubahan.
Patung kontemporer Indonesia tak lepas dari pengaruh patung kontemporer global. Sebagai mana telah diutarakan bahwa pengertian patung dalam seni rupa kontemporer hampir tanpa batas. Batasan patung yang inklusif  menjadi pilihan yang masuk akal, sebab batasan yang sifatnya eksklusif dan otoritatif tentu tak sesuai dengan semangat seni rupa kontemporer yang plural dan “apapun boleh”.
Kultur, kulturisasi, inkulturasi, enkulturiasi, akulturasi merupakan proses jejak kebudayaan manusia.Dinamika kebudayaan telah dan akan melahirkan jejaring dan jaringan yang berbentuk tatanan-tatanan sesuai dengan tuntutan zaman. Proses berkebudayaan dapat dengan berbagai bentuk, misalnya bentuk kultur ekstentif dan kultur jaringan biosif. Kultur ekstensif berwujud strategi pemeliharaan, pembudidayaan, misalnya kultur  pembudidayaan dengan intensitas rendah, seperti yang dilakukan komunitas kolektif manusia di kalangan bawah, petani, buruh dan sebagainya. Sedangkan pada kultur jaringan biosif, proses kebudayaan direkayasa untuk mempercepat pertumbuhan jaringan lewat media tumbuh yang diatur sedemikian rupa sesuai dengan kondisi masyarakat manusia kolektif tersebut.







DAFTAR PUSTAKA
https://www.google.co.id/search?q=kritik+atas+patung+karya+G.Sidharta+pdf&ie676

Postingan Populer